HADIS TENTANG CADAR RIWAYAT AL-BUKHARI

HADIS TENTANG CADAR RIWAYAT AL-BUKHARI
A. PENDAHULUAN

Hadis sebagai suatu salah satu sumber pokok ajaran Islam - selain Alquran - telah memuat seperangkat hukum-hukum yang mengatur hubungan dengan Pencipta, manusia, dan makhluk lainnya. Pernyataan ini sesungguhnya mengisyaratkan bahwa perlunya manusia (baca: umat Islam) untuk menyingkap hukum-hukum tersebut sehingga menimbulkan kesadaran bahwa apa yang dilakukannya dalam kehidupan ini memiliki sandaran yang jelas dari sumber pokok ajaran Islam.

Bentuk kesadaran ini timbul – misalnya – melalui persepsi yang mengatakan bahwa suatu perbuatan telah dilakukan oleh Nabi saw. dan kewajiban bagi umat Islam untuk mengikutinya. Salah satu dari contoh perbuatan tersebut adalah menggunakan cadar bagi wanita muslimah.

Para ulama yang mendukung pendapat dianjurkannya wanita muslimah untuk menggunakan cadar, menjadikan satu riwayat al-Bukha>ri> sebagai landasan hukum pendapat mereka. Riwayat tersebut berkenaan dengan larangan untuk menggunakan cadar bagi wanita muslimah pada waktu berihram, dan menurut mereka, hal ini merupakan bukti bahwa selain pada waktu ihram (dalam kehidupan sehari-hari) wanita-wanita muslimah saat itu menggunakan cadar. Tulisan ini akan mengkaji riwayat al-Bukha>ri> yang mereka gunakan, bukan dari sudut kajian fikih, tetapi dari sudut kritik hadis.

Oleh karena itu fokus kajian dalam tulisan ini akan mengarah kepada penelusuran kesahihan hadis melalui upaya kritik matan hadis, yaitu terungkap dalam rumusan: "Bagaimana Status Matan Hadis tentang Cadar Riwayat al-Bukha>ri> berdasarkan Aplikasi Metode Kritik Matan Hadis?".

B. PEMBAHASAN

1. Status Sanad Hadis tentang Cadar Riwayat al-Bukha>ri>

Hadis yang diteliti adalah dalam tulisan ini adalah dari jalur al-Bukha>ri>, yaitu (dalam urutan rawi ke mukharrij/top-down): 'Abdulla>h bin 'Umar, Na>fi', al-Lais\, 'Abdullla>h bin Yazi>d, dan al-Bukha>ri>. Teks hadis selengkapnya dapat dilihat di bawah ini:

١٨٣٨- حدّثنا عبدُ اللهِ بنُ يزيدَ حدَّثَنا الليثُ حدَّثَنا نافعٌ عن عبدِ اللهِ بنِ عمرَ رضيَ الله عنهما قال: (( قام رجلٌ فقال: يا رسولَ اللهِ ماذا تأمُرنا أن نلبَسَ منَ الثيابِ في الإحرام؟ فقال النبي r: لا تَلبَسوا القميصَ ولا السَّراويلاتِ ولا العَمائمَ ولا البَرانِسَ، إلاّ أن يكونَ أحدٌ ليستْ له نَعلانِ فلْيَلبَسِ الخُفَّيْنِ ولْيَقطَع أسفلَ منَ الكَعبَين. ولا تَلبَسوا شيئًا مَسَّهُ زَعفَرانٌ ولا الوَرْسُ. ولا تَنتَقِب المرأَةُ المحُرِمةُ، ولا تَلبَسُ القُفّازَين )).[1]

(Al-Bukha>ri> berkata): Abdulla>h bin Yazi>d telah menyampaikan kepada kami (katanya): al-Lais\ telah menyampaikan kepada kami (katanya): Na>fi' telah menyampaikan kepada kami (riwayat) dari Abdulla>h bin 'Umar r.a. berkata: Ada seorang yang berdiri lantas bertanya: Wahai Rasulullah apakah gerangan yang Anda perintahkan kepada kami perihal berpakaian dalam kondisi ihram?. Kemudian Nabi saw. bersabda: "Janganlah kalian memakai baju gamis, celana panjang, surban dan mantel (pakaian yang menutup kepala), kecuali bagi yang tidak memiliki sepasang sandal, maka hendaknya memakai sepatu, hendaklah memotong bagian di bawah kedua mata kakinya. Janganlah (pula) kalian memakai pakaian yang telah diberi wewangian yang berwarna atau tidak berwarna. Janganlah seorang wanita yang sedang berihram memakai cadar dan kedua sarung tangan.

Setelah dilakukan upaya i'tiba>r melalui penelusuran hadis (takhrīj al-hadīs) dengan menggunakan metode penelusuran berdasarkan lafal dan tema, akan diketahui bahwa hadis riwayat al-Bukha>ri> ini, ternyata juga diriwayatkan oleh mukharrij (kolektor) yang lain, seperti: Abu> Da>wud, al-Tirmi>z\i>, al-Nasa>'i, Ma>lik, dan Ah}mad. [2] Semua jalur sanad hadis ini mempunyai tidak mempunyai sya>hid, karena sahabat yang meriwayatkan hanyalah 'Abdulla>h bin 'Umar yang kemudian ditranmisikan kepada satu tabi'in juga, yaitu Na>fi' (selengkapnya bisa dilihat dalam skema sanad hadis pada bagian lampiran).

Kritik Sanad Hadis tentang Cadar Riwayat al-Bukha>ri>

'Abdulla>h bin 'Umar, nama lengkapnya Abdulla>h bin 'Umar bin al-Khat}t}a>b bin Nufail bin 'Abd al-'Uzza\ bin Rabbah} bin 'Abdilla>h bin Qarz} bin Razza>h} bin 'Adi> bin Ka'ab. Kuniyahnya Abu> 'Abd al-Rah}man al-'Adawi> al-Qurasyi> > al-Makki> al-Madi>ni>. Ibn 'Umar masuk Islam pada usia kanak-kanak, bersama sang ayah, 'Umar bin al-Khatta>b. Ibn 'Umar wafat 73/74 H. Selain meriwayatkan hadis langsung dari Nabi saw., dia juga mendapatkan hadis dari Abu> Bakar, Sa'ad bin Waqqa>s} dan lain-lain. Di antara muridnya adalah Na>fi'. Abdulla>h dikenal sebagai orang yang saleh, seorang imam yang istiqamah, berwawasan luas serta memiliki banyak pengikut. Hafsah (saudara Ibn 'Umar) mengatakan: Saya pernah mendengar Rasulullah saaw, bersabda: Sesungguhnya Ibn 'Umar seorang yang saleh (rajul s}a>lih}). Ibn Mas'u>d: Pemuda Quraisy yang paling mampu menjaga dirinya dari urusan duniawi, tentu 'Abdulla>h bin 'Umarlah (orangnya). Jabir (Ibn 'Abdilla>h): Tiada seorangpun dari kami yang jika telah mendapat (kenikmatan) dunia, kecuali dia akan cenderung kepada dunia, atau dunia cenderung kepadanya. (tetapi) lain halnya dengan Ibn 'Umar. Al-Zuhri>: Tiada (argumen) seorangpun yang bisa menandingi argumen Ibn 'Umar. Ma>lik: Dia (Ibn 'Umar) telah memberikan fatwa kepada umat selama enam puluh tahun. Abu> Nu'aim al-H{a>fiz}: Ibn 'Umar telah dianugerahi power dalam pertempuran, ibadah, "bisnis", wawasan serta lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat eskatologis dan memegang teguh as\ar Nabi. [3]

Na>fi', nama lengkapnya Abu> 'Abdilla>h maula> 'Abdilla>h bin 'Umar bin al-Khatta>b al-Qurasyi> al-'Adawi> al-Madi>ni>, wafat 117 H. Na>fi' memiliki beberapa orang guru di antaranya Ibn 'Umar, Abu> Hurairah dan lain-lain. Di antara muridnya adalah al-Lais\ bin Sa'ad. Ma>lik: Apabila Na>fi' menyampaikan hadis dari Ibn 'Umar, aku tidak memperdulikan (lagi) hadis dari yang lain. Ibn Ma'i>n, al-'Ijli>, al-Nasa>'i> dan lain-lain: S|iqah. [4]

Al-Lais\, nama lengkapnya Abu> al-H{aris\ al-Lais\ bin Sa'ad bin 'Abd al-Rah}man al-Fahmi> maula> 'Abd al-Rah}man bin Kha>lid bin Musa>fir, lahir pada Kamis tanggal 14 Sya'ban 94 H, dan wafat pada hari Jum'at 14 Sya'ban 175 H, pada usia 81 tahun. Al-Lais\ meriwayatkan hadis (salah satunya) dari Na>fi'. Al-Lais\ adalah seorang ahli fikih Mesir. Menurut Ibn Sa'ad, al-Lais\ adalah seorang mujtahid "mutlak" di masanya, s\iqah, memiliki banyak hadis sahih. Ia juga seorang yang mulia (akhlaknya) lagi dermawan. Ah}mad: Al-Lais\ s\iqah s\abt, tetapi bersikap mudah menerima hadis, banyak ilmunya, hadisnya sahih. Ah}mad juga mengatakan: Tiada seorangpun penduduk Mesir yang lebih sahih hadisnya daripada al-Lais\. Yah}ya bin Ma'i>n: Dia (al-Lais\) bersifat tasa>hul dalam menerima hadis dan dari siapa diterimanya. Ibn Ma'i>n juga mengatakan: S|iqah. Us\ma>n al-Da>rimi> bertanya kepada Ibn Ma'i>n: Bagaimana (kondisi) hadis yang diriwayatkannya dari Na>fi'?. Ibn Ma'i>n menjawab: Sa>lih{, s\iqah. Al-Azdi>: S{adu>q, tapi juga tasa>hul. Ibn al-Madi>ni>: Al-Lais\ s\iqah s\abt. Al-'Ijli>: Orang Mesir yang s\iqah. Al-Nasa>'i>: S|iqah. Abu> Zur'ah: S{adu>q. Ibn Khirra>sy: S{adu>q, S{ah{i>h{ al-H{adi>s\. Ya'qu>b bin Syaibah: Al-Lais\ s\iqah. 'Amru> bin 'Ali>: Al-Lais\ bin Sa'ad s{adu>q. Ibn Bukair: Saya telah banyak memperhatikan orang, tiada satupun yang seperti al-Lais\. Al-Sya>fi'i>: Al-Lais\ lebih fakih dari Ma>lik, namun para pengikutnya (Al-Lais\), tidak banyak mengambil pendapat darinya. Pada riwayat yang lain, al-Sya>fi'i> juga mengatakan: Al-Lais\ lebih (baik) dalam pengamalan as\ar daripada Ma>lik. Ah}mad bin S}a>lih}: Al-Lais\ bin Sa'ad adalah seorang al-ima>m (panutan). 'Abdulla>h bin S{a>lih}: Saya bersahabat dengan al-Lais\ selama dua puluh tahun, dia tidak pernah santap siang dan malam kecuali bersama orang lain. Ibn H{ibba>n menuliskan dalam al-S|iqa>t: Dia (al-Lais\) adalah orang yang terkemuka di masanya, ahli fikih, wara', seorang pakar, terpandang dan dermawan. Abu> Ya'la> al-Khali>li>: Dia (al-Lais\) seorang al-ima>m (panutan) di masanya, tanpa perlu bantahan. [5]

'Abdullla>h bin Yazi>d, nama lengkapnya Abu> 'Abd al-Rah}man al-Muqri' 'Abdulla>h bin Yazi>d al-Qurasyi> al-'Adawi> al-Makki>, wafat pada bulan Rajab tahun 212/213 H. Ibn Yazi>d berasal dari daerah Basrah, kemudian menetap di Mekah, serta mengambil hadis salah satunya (berguru) dari al-Lais\ bin Sa'ad. Di antara muridnya adalah al-Bukha>ri>. Al-Nasa>'i> mentaus\iqkan Ibn Yazi>d. Abu> H{a>tim: S{adu>q. Al-Nasa>'i>: S|iqah. Al-Khali>li>: S|iqah, hadisnya dari rawi yang s\iqah bisa jadi hujjah, dia (juga) tafarrud (menyendiri meriwayatkan) beberapa hadis. Ibn Sa'ad: Dia s\iqah, (kas\i>r al-h}adi>s\) mempunyai banyak hadis. Ibn H{ibba>n mencantumkan nama 'Abdullla>h bin Yazi>d dalam: al-S|iqat. Ibn Qa>ni': Orang Mekah yang s\iqah. [6]

Al-Bukha>ri>, nama lengkapnya Abu> Abdilla>h al-Bukha>ri>, Muh}ammad bin Isma>'i>l bin Ibra>hi>m bin al-Mugi>rah al-Ju'fi> maula>hum. Al-Bukha>ri> lahir pada hari Jum'at yaitu setelah waktu salat Jum'at, 13 Syawal 194 H, wafat pada malam 'Idul Fitri (Syawal) tahun 256 H, kemudian dikuburkan pada siang harinya. Al-Bukha>ri> adalah seorang penulis kitab hadis sahih (s}a>hib al-s}ah}īh}), yaitu S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> dan al-ima>m dalam bidang hadis. Di antara gurunya adalah 'Abdullla>h bin Yazi>d. Di antara muridnya adalah Muslim bin al-H{ajja>j. Muh}ammad bin Basysya>r Bunda>r: "Penjaga dunia" (h}uffa>z} al-dunya>) ini ada empat orang: Abu> Zur'ah di Rayy, Muslim di Naisa>bur, Abdulla>h al-Da>rimi> di Samarkan, dan al-Bukha>ri> di Bukha>ra. H{a>syid bin Isma>'i>l bercerita: Ketika aku berada di Basrah, datanglah Muh}ammad bin Isma>'i>l, kemudian Muh}ammad bin Basysya>r berkata: "Penghulu" ahli fikih (sayyi>d al-fuqaha>') telah datang. Abu> Mus'ab: Menurut kami, Muh}ammad bin Isma>'i>l lebih pakar dan cerdas daripada Ibn H{anbal. Abu> Bakar bin Abi> Syaibah dan Muh}ammad bin Abdilla>h bin Numair: Kami tidak pernah melihat ada orang (kualitas ilmunya) seperti Muh}ammad bin Isma>'i>l. Ahmad bin Hambal: Tingkat hafalan tertinggi (intaha> al-hifz}) ada pada empat orang, (salah satunya) yaitu Muh}ammad bin Isma>'i>l. S{a>lih} bin Muh}ammad al-Asadi>: Muh}ammad bin Isma>'i>l adalah yang paling mengetahui tentang hadis.[7]

Dari uraian di atas, tampak bahwa semua rawi tergolong śiqah (baca: 'ādil dan dābit), dengan bentuk penilaian yang menunjukkan level keśiqahan yang tinggi seperti pada al-Bukha>ri> (intaha> al-hifz}), atau juga terendah seperti pada 'Abdullla>h bin Yazi>d (s}adu>q). Kitab-kitab Rijāl juga menyebutkan adanya hubungan transmisi hadis di antara masing-masing rawi hadis al-Bukha>ri> ini. Selain itu para rawi juga tidak tercatat dalam nominasi rawi yang pernah melakukan tadlīs, dengan demikian tidak ada persoalan dengan rawi yang menggunakan 'an'anah. [8] Demikian pula tidak ditemukan adanya pendapat para ulama kritikus hadis yang mengatakan bahwa jalur sanad al-Bukha>ri> ini "terinfeksi" syāż dan 'illah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sanad hadis tentang cadar riwayat al-Bukha>ri> ini bersambung, sehingga dinilai berstatus sahih.

  1. Kritik Matan Hadis tentang Cadar Riwayat al-Bukha>ri>

Dengan jelasnya status kesahihan sanad hadis al-Bukh>ri> ini, maka matan hadis yang akan menjadi giliran berikutnya untuk diuji dalam aktifitas kritik matan. Kajian ini dibagi kepada dua bagian, yaitu: Kritik Matan Redaksional dan Kritik Matan Substansial.

a. Kritik Matan Redaksional

Untuk mengetahui ragam redaksi hadis berdasarkan hasil dari 'itiba>r melalui takhri>j al-h{adi>s\ sebelumnya, berikut ini diperlihatkan teks hadis dari masing-masing mukharrij secara lengkap, yaitu mencakup riwayat riwayat dari al-Bukha>ri>, Abu> Da>wud, al-Tirmiz\i>, al-Nasa>'i>, Ma>lik, dan Ah}mad.

Riwayat al-Bukha>ri>:

١٨٣٨- حدّثنا عبدُ اللهِ بنُ يزيدَ حدَّثَنا الليثُ حدَّثَنا نافعٌ عن عبدِ اللهِ بنِ عمرَ رضيَ الله عنهما قال: (( قام رجلٌ فقال: يا رسولَ اللهِ ماذا تأمُرنا أن نلبَسَ منَ الثيابِ في الإحرام؟ فقال النبي r: لا تَلبَسوا القميصَ ولا السَّراويلاتِ ولا العَمائمَ ولا البَرانِسَ ، إلاّ أن يكونَ أحدٌ ليستْ له نَعلانِ فلْيَلبَسِ الخُفَّيْنِ ولْيَقطَع أسفلَ منَ الكَعبَين. ولا تَلبَسوا شيئًا مَسَّهُ زَعفَرانٌ ولا الوَرْسُ. ولا تَنتَقِب المرأَةُ المحُرِمةُ، ولا تَلبَسُ القُفّازَين )).[9]

Riwayat Abu> Da>wud:

١٨٢٥- حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ. عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ r بِمَعْنَاهُ وَزَادَ (( وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْحَرَامُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ )).[10]

١٨٢٦- حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْمَدِينِىُّ عَنْ نَافِعٍ. عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ r قَالَ الْمُحْرِمَةُ لاَ تَنْتَقِبُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.[11]

Riwayat al-Tirmiz\i>:

٨٣٣- حَدَّثَنَا قتيبةُ، قال: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عن نَافعٍ، عن ابن عُمرَ؛ أنّهُ، قال: قَامَ رَجُلٌ فقال: يَا رَسُوْلَ اللهِ ماذا تَأمُرُنا أنْ نلبَسَ من الثِّيابِ في الْحُرْمِ ؟ فقال رَسُولُ اللهِ r: (( لاَ تَلْبَسُوا القُمُصَ وَلا السَّرَاوِيلاَتِ وَلا الْبَرَانِسَ وَلا الْعَمَائِمَ وَلا الْخِفَافَ، إِلاَّ أنْ يَكُونَ أحَدٌ لَيْسَتْ لهُ نَعْلاَنِ، فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ، ولْيَقْطَعْهُمَا مَا أسْفَلَ من الْكَعْبَيْنِ. وَلاَ تَلْبَسُوا شَيْئًا من الثِّيَابِ مَسَّهُ الزَّعْفَرانُ وَلا الْوَرْسُ، وَلا تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْحَرَامُ، وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ.[12]

Riwayat al-Nasa>'i>:

٢٦۷٣- أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ. عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنَ الثِّيَابِ فِي اْلإِحْرَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r لاَ تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلاَن فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلاَ تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنَ الثِّيَابِ مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْحَرَامُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.[13]

٢٦٨١- أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ .عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً قَامَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنَ الثِّيَابِ فِي اْلإِحْرَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ لَهُ نَعْلاَنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ وَلاَ يَلْبَسْ شَيْئًا مِنْ الثِّيَابِ مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْحَرَامُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.[14]

Riwayat Ma>lik:

۷٨٦- ١٥- وحدَّثني عَنْ مالكٍ، عَن نَافِعٍ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ: لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَ لاَ تَلبَسُ الْقُفَّازَيْنِ.[15]

Riwayat Ah}mad:

٦۰۰٣- حدثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا لَيْثٌ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عن عبد اللَّه أنه قال: قام رجلٌ، فقال يا رسولَ اللَّه ماذا تأْمُرُنا أن نَلْبَسَ من الثيابِ في الإِحرامِ ؟ فقال له رسولُ اللَّه r: (( لا تَلْبَسُوا القُمُص ولا السَّراوِيلاتِ، ولا العَمَائِمَ، ولا البَرَانِسَ، ولا الخِفَافَ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلاَنِ، فلْيَلْبَسِ الخُفَّيْنِ ما أَسْفَلَ من الكَعْبَيْنِ، ولا تَلْبَسُوا شيئًا من الثِّيَابِ مَسَّه الوَرْسُ ولا الزَّعْفَرَان، ولا تَنْتَقِبُِ المَرْأَةُ الْحَرَامُ، ولا تَلْبِسُِ القُفَّازَيْنِ )).[16]

Jika merujuk kembali kepada kualitas para rawi yang telah diuraikan pada kritik sanad sebelumnya, maka secara umum dapat dikatakan bahwa semua rawi hadis tentang cadar riwayat al-Bukha>ri> ini tergolong orang-orang yang s\iqah. Kualitas rawi ini juga menjadi bukti bahwa hadis ini tidak dapat digolongkan kepada hadis-hadis munkar (al-mana>kir). Demikian juga para rawinya ('Abdulla>h bin 'Umar, Na>fi', al-Lais\, 'Abdullla>h bin Yazi>d) tidak termasuk kepada rawi hadis munkar. Hadis ini juga tidak dikatakan maud}u>', karena memiliki sanad dan kualitas serta kuantitas rawi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hadis riwayat al-Bukha>ri> inipun tidak dapat dikatakan mudtarib karena tidak terdapat pertentangan yang signifikan (ta'ārud) dengan riwayat dari mukharrij lainnya. Hadis tentang cadar riwayat al-Bukha>ri> ini juga tidak termasuk hadis mudraj, karena tidak ditemukannya data atau indikator-indikator (al-dawābit) yang menunjukkan bahwa salah seorang periwayat memasukkan ungkapan asing (dari selain Nabi) ke dalam dalam redaksi hadis. Akan tetapi indikasi yang tampak adalah terdapat riwayat-riwayat yang berbeda, di antara perbedaan yang dimaksud adalah terjadinya pertukaran awal (taqdīm) dan akhir (ta'khir) redaksi jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat lain, selain dari al-Bukhari>. Hal ini dapat dilihat pada identifikasi perbandingan ragam lafal pada tabel-tabel di bawah ini:

Tabel I

Mukharrij

Bentuk lafal

al-Bukha>ri>, al-Nasa>'i>, dan Ah}mad

في الإحرام؟

al-Tirmiz\i>

في الْحُرْمِ ؟

Tabel II

Mukharrij

Bentuk lafal

al-Bukha>ri> dan al-Nasa>'i>,

الْقَمِيصَ

Ah}mad dan al-Tirmiz\i>

القُمُص

Tabel III

Mukharrij

Bentuk lafal

al-Bukha>ri>

ولا السَّراويلاتِ ولا العَمائمَ ولا البَرانِسَ

al-Tirmiz\i>

وَلا السَّرَاوِيلاَتِ وَلا الْبَرَانِسَ وَلا الْعَمَائِمَ وَلا الْخِفَافَ

al-Nasa>'i> dan Ah}mad

وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ

Tabel IV

Mukharrij

Bentuk lafal

al-Bukha>ri>

ولْيَقطَع أسفلَ منَ الكَعبَين

al-Nasa>'i> dan Ah}mad

ما أَسْفَلَ من الكَعْبَيْنِ

al-Tirmiz\i>

ولْيَقْطَعْهُمَا مَا أسْفَلَ من الْكَعْبَيْنِ

Tabel V

Mukharrij

Bentuk lafal

al-Bukha>ri>

ولا تَلبَسوا شيئًا مَسَّهُ زَعفَرانٌ ولا الوَرْسُ

al-Tirmiz\i> dan al-Nasa>'i>

وَلاَ تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنَ الثِّيَابِ مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ

Ah}mad

ولا تَلْبَسُوا شيئًا من الثِّيَابِ مَسَّه الوَرْسُ ولا الزَّعْفَرَان

Tabel VI

Mukharrij

Bentuk lafal

al-Bukha>ri>

ولا تَنتَقِب المرأَةُ المحُرِمةُ

Abu> Da>wud, al-Tirmiz\i>, al-Nasa>'i> dan Ah}mad

ولا تَنْتَقِبُِ المَرْأَةُ الْحَرَامُ

Dari ragam redaksi yang tampak pada tabel di atas, ditemukan empat lafal yang diriwayatkan secara berbeda dalam form (bentuk) kata antara al-Bukha>ri> dengan mukharrij lain, yaitu masing-masing pada tabel I, II, IV dan VI. Dua lafal yang berbeda dalam taqdi>m dan ta'khi>r (awal dan akhir kata), yaitu pada tabel III dan V. Untuk perbedaan secara form kata, hal ini merupakan indikasi bahwa riwayat al-Bukha>ri> ditransmisikan secara maknawi>. Dengan demikian tidak perlu dikaji lebih jauh sebab-sebab terjadinya perbedaan lafal dalam bentuk ini. Sedangkan perbedaan dalam taqdi>m dan ta'khi>r bisa ditelusuri via kualitas rawi riwayat al-Bukha>ri>.

Pada tabel III, jika dibandingkan riwayat al-Bukha>ri> dengan riwayat al-Tirmi>zi> maka selain problem taqdi>m dan ta'khi>r, juga terdapat unsur naqs} (pengurangan kata). Jika dibandingkan dengan riwayat al-Nasa>'i> dan Ah}mad, yang ada hanyalah naqs}} saja. Jika ditelusuri kepada kemungkinan rawi yang andil dalam periwayatan "perbedaan" redaksi tersebut adalah 'Abdulla>h bin Yazi>d (jalur al-Bukha>ri>), Qutaibah bin Sa'i>d (jalur al-Tirmi>zi> dan al-Nasa>'i>) dan Ha>syim bin al-Qa>sim (jalur Ahmad). [17] Ketiga rawi ini semuanya dinilai siqah, tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa satu rawi yang rendah atau lebih tinggi level kesiqahannya di banding yang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa ziya>dah (penambahan kata) ataupun taqdi>m dan ta'khi>r dari dua rawi (Qutaibah bin Sa'i>d dan Ha>syim bin al-Qa>sim) terhadap riwayat al-Bukha>ri>, bisa diterima. Dengan kata lain tidak ada pengaruh kualitas matan hadis al-Bukha>ri> bagi ragam redaksi yang telah mereka riwayatkan.

Pada tabel V, jika dibandingkan riwayat al-Bukha>ri> dengan riwayat al-Tirmiz\i> dan al-Nasa>'i>, yang ada hanyalah naqs}} saja. Jika dibandingkan dengan riwayat Ah}mad, selain naqs}} juga terdapat problem taqdi>m dan ta'khi>r. Meskipun demikian – seperti halnya pada uraian tabel III) ragam redaksi ini tetap tidak mempengaruhi kualitas matan hadis al-Bukha>ri>.

b. Kritik Matan Substansial

Kandungan hadis tentang cadar riwayat al-Bukha>ri> yang akan diuji pada bagian substansi matan di sini adalah berkaitan dengan satu penggalan saja dari hadis lengkapnya, yaitu:

ولا تَنتَقب المرأَةُ المحُرِمةُ

Janganlah seorang wanita yang (sedang) berihram memakai niqa>b (cadar).

Al-Suyu>t}i> dan Ibn H{ajr mengartikan niqa>b pada hadis ini dengan khima>r (penutup) yang menyempitkan hidung. [18] Penutup model ini dalam bahasa Indonesia lebih identik dengan term cadar. [19] Oleh karena itu potongan hadis ini dijadikan sebagai objek kajian, karena di dalamnya terdapat kata niqa>b atau cadar. Sehingga bisa diterjemahkan dengan: "…memakai cadar", sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Hadis ini dijadikan sebagian ulama untuk mengatakan bahwa kondisi wanita muslimah di luar prosesi ibadah ihram, menggunakan cadar. Hal ini dipahami dari pernyataan mereka sebagai berikut:

Larangan wanita berihram untuk menggunakan cadar, bukanlah merupakan perintah untuk membukanya pada kondisi mereka (selain itu). Kami telah menganggap riwayat yang mengatakan bahwa wajah (wanita) adalah aurat, maka tidak boleh menutupnya. [20]

Dalam rangka pengujian terhadap persepsi ulama di atas, berikut ini akan diadakan kritik matan hadis dari aspek kandungannya berdasarkan tolok ukur yang digunakan oleh ulama hadis, yaitu: Relevansi hadis secara interpretatif terhadap Alquran, relevansi rekomendatif dari riwayat-riwayat sahih yang lain, dan keserasian stylish dengan ungkapan kenabian.

1) Relevansi Interpretatif terhadap Alquran

Para ulama yang menganjurkan pemakaian cadar bagi wanita mengkaitkan hadis-hadis yang senada dengan riwayat Ibn 'Umar tersebut dengan beberapa ayat Alquran, di antaranya yang "populer" adalah: [21]

Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka merendahkan jilbabnya.

Ayat di atas berisi himbauan kepada Nabi Muhammad saw. untuk memerintahkan wanita muslimah untuk mengulurkan jilbab. Pertanyaan yang timbul adalah apakah makna merendahkan di sini relevan dengan hadis yang diklaim anjuran menutup muka (bercadar).? Kalimat yudni>na berasal dari kata dana>, menurut al-As}fiha>ni> berarti mendekatkan satu dengan yang lain, yang berarti juga menempelkan. Bentuk penempelan ini berkaitan dengan posisi, dan posisi yang dimaksudkan adalah yang lebih rendah dari keadaan semula, atau disebut menjulurkan. [23] Berdasarkan pemaknaan ini, dapat dikatakan perintah yang dimaksudkan pada ayat ini adalah untuk merendahkan jenis pakaian yang disebut jilba>b. Bentuk perendahan ini tidak diberi batasan.

Dengan demikian relevansi antara anjuran bercadar dari hadis Ibn 'Umar, pemberian batasan (baca: sampai ke bagian wajah) dengan ayat di atas, adalah sesuatu yang berkesan dipaksakan. Jika jilbab dipahami sebagai pakaian yang mulai menutup kepala, maka tidak juga bisa memberi batasan bahwa makna yudni>na di sini sampai kepada wajah. Karena ada kemungkinan hanya sampai alis mata, bola mata, hidung dan lain sebagainya. Selain juga bisa dipahami, jika cadar diartikan penutup wajah yang sempit (seperti pemaknaan Al-Suyu>t}i> dan Ibn H{ajr), maka ayat tersebut juga tidak relevan, karena makna yudni>na hanya menempelkan atau mendekatkan saja, dan tidak berarti menutup dengan ketat/menyempitkan.

2) Relevansi Rekomendatif dari Riwayat-Riwayat Sahih Lain

Ulama yang menganjurkan pemakaian cadar juga mengutip hadis yang dinilai berstatus sahih, yang dianggap punya relevansi dengan hadis Ibn 'Umar yang menjadi objek pembahasan tulisan ini. [24] Hadis sahih tersebut termuat dalam kitab sunan karya al-Tirmiżi>, yaitu:

عَنْ عَبْدِ اللهِ: عن النبي r، قال: (( المَرْأَةُ عَوْرَةٌ فإذا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. [25]

Dari 'Abdillah (diriwayatkan) dari Nabi saw., beliau bersabda: "Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar (maka) setanpun "memperhatikannya".

Ibn 'Abd al-Rah}i>m al-Mubarakfuri> memaknai hadis riwayat al-Tirmiżi> ini hanyalah merupakan "analogi" sifat malunya wanita. Menurut al-Mubarakfuri>, wanita disebut aurat, karena jika wanita menunjukkan menampak dirinya, ia memiliki rasa malu, sebagaimana malunya ia jika memperlihatkan auratnya. [26] Melalui pemaknaan ini, jelas bahwa tidak ada relevansinya dengan anjuran untuk menggunakan cadar wanita muslimah.

3) Relevansi Stylish dengan Ungkapan Kenabian

Jika ditelusuri dari segi penggunaan ungkapan, maka riwayat al-Bukha>ri> tentang cadar ini tergolong tarhi>b (anjuran untuk meninggalkan). Penulis tidak menemukan kerancuan pada tarti>b (susunan) lafal dari ungkapan yang digunakan pada riwayat ini. Selain itu, juga tidak ditemukan adanya term yang digunakan oleh ulama yang hidup di masa belakangan, pada riwayat al-Bukha>ri> ini. Komentar dari bagian sebelumnya, yang mengatakan bahwa terjadi periwayatan hadis bi al-ma'na dan kesiqahan para rawinya, juga menjadi bukti yang kuat bahwa riwayat al-Bukha>ri> tentang cadar ini memang merupakan ungkapan kenabian.

C. PENUTUP

Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa redaksi matan hadis tentang cadar riwayat al-Bukha>ri> meskipun terdapat unsur naqs}, serta taqdi>m dan ta'khi>r jika dibandingkan dengan riwayat yang lain, tetap tidak mempengaruhi kualitas matan hadis tersebut dari segi redaksinya. Hal ini juga telah diperkuat dari kealfaan jalur riwayat al-Bukha>ri> dari rawi yang dinilai problematis atau tidak s\iqah.

Namun dari sisi kandungannya, riwayat al-Bukhari> ini tidak menunjukkan adanya relevansi anjuran menggunakan cadar dengan ayat Alquran dan hadis sahih lain. Dengan demikian hadis ini tetap sahih kandungannya jika dimaksudkan bukan untuk menganjurkan pemakaian cadar. Akhirnya, berdasarkan kritik matan, yaitu tinjuan redaksional dan substansial, hadisnya dinyatakan sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'ān al-Karīm

al-Asfihānī, Al-Rāgib. Mu'jam Mufradāt Alfāz al-Qur'ān. Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.

al-'Asqala>ni>, Ah}mad bin 'Ali> bin H{ajar. Tahżīb al-Tahżīb. Juz IV. T.tp: Muassasah al-Risālah, t.th.

al-Bukhāri>, Abū 'Abdilla>h Muh}ammad bin Ismā'īl. S{ah{īh{ al-Bukhāri>. Cet. I; Damaskus: Dār Ibn Kas\īr, 2002.

Ibn 'Abd al-Maqs}u>d, Muh}ammad, et al., Fata>wa> al-Mar'ah al-Muslimah. Cet. I; Kairo: Da>r Ibn Jauzi>, 2005.

Ibn al-'Adawi>, Mus}tafa>. al-H{ija>b Adillah al-Mujibi>n wa Syubh al-Mukha>lifi>n . Cet. II; Taif: Maktabah al-T{arfain, 1410 H.

Ibn Anas, Ma>lik. Al-Muwat}t}a'. Jilid II. T.t.: Majmu>'ah al-Furqa>n al-Tija>riyyah, 2003.

Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz X. Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risālah, 1995.

al-Muba>rakfu>ri>, Abu> al-'Ali> Muh}ammad bin 'Abd al-Rah}man Ibn 'Abd al-Rah}i>m, Tuh}fah al-Ah}waz\i> bi Syarh} Ja>mi' al-Tirmiz\i>. Juz IV. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.

al-Nasā'ī, Abū 'Abd al-Rahman Ahmad bin Syu'aib Ibn 'Ali>. Al-Mujtabā min al-Sunan al-Masyhūr bi al-Sunan al-Nasā'ī. Riyad: Bait al-Afka>r al-Dauliyyah, t.th.

al-Sijistāni>, Abū Dāud Sulaimān bin al-Asy'as. Sunan Abī Dāud. Riyad: Bait al-Afka>r al-Dauliyyah, t.th.

al-Suyu>t}i>, Abu> Fad}l Jala>l al-Di>n 'Abd al-Rah}man. Al-Tausyi>h}: Syarh} al-Ja>mi' al-S{ah}i>h}. Cet. I; Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1998.

al-Tahhān, Mahmūd. Usūl al-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid. Cet. III; Riyād: Maktabah al-Ma'ārif li Nasyr wa al-Tauzī', 1996.

al-Tirmiżi>, Muhammad bin 'Īsa> bin Saurah. Sunan al-Tirmiżi. Cet. I; Riyad: Maktabah al-Ma'a>rif li al-Nasyr wa al-Tauzi>', t.th.

Weinsinck, A.J. Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfāz al-Hadīs\ al-Nabawi>. Juz VI. London: Maktabah Brill, 1946.



[1]Abū 'Abdilla>h Muh}ammad bin Ismā'īl al-Bukhāri>, S{ah}īh} al-Bukhāri> (Cet. I; Damaskus: Dār Ibn Kas\īr, 2002), h. 444.

[2]Penulis menggunakan metode al-takhrīj 'an tarīq ma'rifah kalimah yaqillu daurānuhā 'alā al-sinah min ayyi juz'in min matn al-hadīs\ terhadap potongan hadis: ولا تَنتَقب المرأَةُ المحُرِمةُ. Referensi yang digunakan adalah al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z al-Hadīs\ al-Nabawī karya Arent Jan Weinsinck. Lihat A.J. Weinsinck, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfāz al-Hadīs\ al-Nabawi>, juz VI (London: Maktabah Brill, 1946), h. 531. Lebih jauh tentang metode-metode takhrīj lih. Mahmūd al-Tahhān, Usūl al-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid (Cet. III; Riyād: Maktabah al-Ma'ārif li Nasyr wa al-Tauzī', 1996), h. 35.

[3]Lihat Abu> Nas}r Ah}mad bin Muh}ammad al-H{usain al-Bukha>ri> al-Kala>baz\i> (selanjutnya ditulis al-Kala>baz\i>), Rija>l S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>: al-Hida>yah wa al-Irsya>d fi> Ma'rifah Ahl al-S|iqah wa al-Sada>d allaz\i>na akhraja lahum al-Bukha>ri> fi> Ja>mi'ihi, juz I (Cet. I; Beirut: Da>r al-Ma'rifah, 1987), h. 383, 384. S{afawat 'Abd al-Fatta>h} Mah}mu>d, al-Mugni> fi> Ma'rifah Rija>l al-S{ah{i>h{ain al-Bukha>ri> wa Muslim (Cet. I; Oman: Da>r 'Amma>r, 1987), h. 136. Abū al-Fadl Ahmad bin 'Ali bin H{ajar Syihāb al-Dīn al-'Asqalāni> al-Syāfi'ī (selanjutnya ditulis al-'Asqalāni>), Tahżīb al-Tahżīb, juz II (t.tp: Muassasah al-Risālah, t.th.), h. 389, 390.

[4]Lihat al-Kala>baz\i>, Rija>l S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>, juz II,h. 746, 747. Al-'Asqalāni>, Tahżīb al-Tahżīb, juz IV, h. 210. Abu> al-Mah}a>sin Muh}ammad bin 'Ali al-'Alawi> al-H{usaini, Kita>b al-Taz\kirah bi Ma'rifah Rija>l al-Kutub al-'Asyrah, juz III (Kairo: Maktabah Kha>niji>, t.th.), h. 1758.

[5]Lihat al-Kala>baz\i>, Rija>l S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>, juz I, h. 633, 634. Mah}mu>d, al-Mugni>, h. 206. Al-'Asqalāni>, Tahżīb al-Tahżīb, juz III, h. 481-484. Al-H{usaini, Kita>b al-Taz\kirah, juz III, h. 1431.

[6]Lihat al-Kala>baz\i>, Rija>l S{ah{i>h{ al-Bukha>ri>, juz I, h. 435. Mah}mu>d, al-Mugni>, h. 144. Al-'Asqalāni>, Tahżīb al-Tahżīb, juz II, h. 459, 460. Al-H{usaini, Kita>b al-Taz\kirah, juz II, h. 950.

[7]Lihat Al-H{usaini, Kita>b al-Taz\kirah, juz III, h. 1474, 1475. Al-'Asqalāni>, Tahżīb al-Tahżīb, juz III, h. 507, 508.

[8] Untuk membuktikan ketiadaan rawi yang tergolong melakukan tadlis ini, penulis telah mengadakan checkout pada disertasi Dr. 'Awwa>d al-Khalaf yang berjudul Riwa>ya>t al-Mudallisi>n yang telah dipublikasikan. Lihat dalam 'Awwa>d al-Khalaf, Riwa>ya>t al-Mudallisi>n (t.t: Da>r al-Basya>'ir al-Isla>miyyah, t.th.), h. 33-583.

[9]Al-Bukhāri>, S{ah}īh} al-Bukhāri, h. 444.

[10]Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy'as al-Sijistāni> (selanjutnya ditulis Abu> Da>wud), Sunan Abī Dāwud (Riyad: Bait al-Afka>r al-Dauliyyah, t.th.), h. 212, 213.

[11]Abu> Da>wud, Sunan, h. 213.

[12]Muhammad bin 'Īsa> bin Saurah al-Tirmiżi>, Sunan al-Tirmiżi> (Cet. I; Riyad: Maktabah al-Ma'ārif li al-Nasyr wa al-Tauzī', t.th), h. 203, 204.

[13]Abū 'Abd al-Rahman Ahmad bin Syu'aib Ibn 'Ali al-Nasā'ī, Al-Mujtabā min al-Sunan al-Masyhūr bi al-Sunan al-Nasā'ī (Riyad: Bait al-Afka>r al-Dauliyyah, t.th.), h. 288.

[14]al-Nasā'ī, al-Sunan al-Nasā'ī, h. 289.

[15]Ma>lik bin Anas, al-Muwat}t}a', jilid II (t.t.: Majmu>'ah al-Furqa>n al-Tija>riyyah, 2003), h. 409.

[16]Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz X (Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risālah, 1995), h. 206.

[17] Qutaibah (w. 240 H), yang bernama lengkap Qutaibah bin Sa'i>d bin Ja>mil bin Tari>f bin 'Abdilla>h al-S|aqafi>, dinilai s\iqah oleh Yah}ya> bin Ma'i>n dan Abu> H{a>tim, dinilai s}adu>q oleh al-Nasa>'i>, Ibn Khirra>sy dan Ibn Sayya>r. Ha>syim bin al-Qa>sim (w. 207 H), yang bernama lengkap Abu> al-Nad}r al-Lais\i al-Baghda>di>, yang dinilai s\abt oleh Ah}mad, s\iqah oleh Yah}ya> bin Ma'i>n, 'Ali al-Madi>ni>, Muh}ammad bin Sa'ad, Abu> H{a>tim, dan al-'Ijli>. Lihat Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahz\i>b al-Kama>l fi> Asma>' al-Rija>l, juz XXIII, juz XXX, (Cet. I; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1992), h. 528, 529, h. 130, 131, 134,135.

[18]Lihat Abu> Fad}l Jala>l al-Di>n 'Abd al-Rah}man al-Suyu>t}i>, Al-Tausyi>h}: Syarh} al-Ja>mi' al-S{ah}i>h}, juz (Cet. I; Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1998), h. 1386. Lihat juga Ah}mad bin 'Ali bin H{ajar al-'Asqala>ni>, Fath{ al-Ba>ri bi Syarh{ S{ah{i>h{ al-Ima>m Abi> 'Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>'i>l al-Bukha>ri>, juz IV (Cet. I; Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wat}aniyyah, 2001), h. 64.

[19] Cadar adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan), dikatakan: Memakai cadar, berarti berselubung. Demikian pemaknaannya dalam Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 250.

[20] Muh}ammad bin 'Abd al-Maqs}u>d, et al., Fata>wa> al-Mar'ah al-Muslimah (Cet. I; Kairo: Da>r Ibn Jauzi>, 2005), h. 411.

[21] Lihat Mus}tafa> bin al-'Adawi>, al-H{ija>b Adillah al-Mujibi>n wa Syubh al-Mukha>lifi>n (Cet. II; Taif: Maktabah al-T{arfain, 1410 H), h. 15, 26.

[22] Q.S. al-Ah}za>b (33): 59.

[23] Lihat Al-Rāgib al-Asfihānī, Mu'jam Mufradāt Alfāz al-Qur'ān (Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.), h. 174.

[24] Lihat Ibn al-'Adawi>, al-H{ija>b, h. 38.

[25] al-Tirmiżi>, Sunan al-Tirmiżi> , h. 278.

[26] Lihat Abu> al-'Ali> Muh}ammad bin 'Abd al-Rah}man Ibn 'Abd al-Rah}i>m al-Muba>rakfu>ri>, Tuh}fah al-Ah}waz\i> bi Syarh} Ja>mi' al-Tirmiz\i>, juz IV (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 337.

Kamis, 27 Desember 2012

HADIS-HADIS TENTANG KESEHATAN


Nabi saw. bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah swt. daripada orang mukmin yang lemah”. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah ra.)

Nabi saw. bersabda: “Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal sebagai mukim dan dalam keadaan sehat”.
-          (H.R. al-Bukhari dari Abu Musa al-Asyaari ra.)

Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang (H.R. al-Bukhari dari Ibn Abbas ra.).

Di antara doa Rasulullah saw. adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan, dari lepasnya kesehatan yang telah telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.”  
(H.R. Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.)

Sesunguhnya ‘Abdullah bin ‘Umar memerintahkan seseorang yang hendak tidur untuk membaca doa: “Ya Allah, Engkau telah menciptakan diriku dan Engkaulah yang akan mematikannnya. Matiku dan hidupku hanyalah untuk-Mu. Apabila engkau menghidupkan diriku, maka jagalah. Dan apabila Engkau mematikan diriku, maka ampunilah. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kesehatan yang sempurna.
(H.R. Muslim).

Nabi saw bersabda: “Tidak satupun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim, melainkan dosanya dihapus Allah, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri”
(H.R. Muslim dari Aisyah ra.)

Nabi saw. bersabda: “Tidak ada penderitaan, kesengsaraan, sakit, kesedihan dan bahkan juga kekalutan yang menimpa seorang mukmin, melainkan dengan semua itu dihapuskan sebagian dosanya”
 (H.R. Muslim dari Abu Hurairah dan Abu Said ra.)

Ibnu ‘Umar berkara: Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu.
(HR. al-Bukhari)

Nabi saw. bersabda: “Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), jika tidak bisa demikian, maka hendaklah ia memenuhi sepertiga lambungnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk bernafas”
(HR. al-Tirmidzi dari Miqdad bin Madikarib. Hadis hasan)

Rasulullah saw. telah melarang bernafas di dalam bejana atau melarang untuk meniup padanya.
 (HR. Al-Tirmidzi dari Ibn Abbas. Hadis hasan sahih)

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa tertidur dan ditangannya terdapat lemak (kotoran bekas makan) dan dia belum mencucinya lalu dia tertimpa oleh sesuatu, maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.” (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah ra.)

Nabi saw bersabda: “ Bersuci sebagian dari iman”
 (HR. Ahmad dari Abu Malik al-Asyari, hadis sahih)

Nabi saw. bersabda:  “Jika saja tidak memberatkan umatku maka sungguh akan ku perintah mereka untuk bersyiwak setiap akan mendirikan shalat.”
(HR: Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal dari Zaid bin Khalid al-Juhani, hadis sahih)

Nabi saw. bersabda: “Dan jika salah satu di antara kalian bangun tidur maka hendaklah membasuh tangannya sebelum memasukannya ke dalam air wudlu karena sesungguhnya di antara kalian tidak mengetahui di mana semalam tangannya berada.”
(HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud dari Abu Hurairah ra.)

Sesungguhnya Nabi melarang buang air kecil di air yang tidak mengalir.
 (HR an-Nasai dari Jabir ra.)

Orang-orang Arab berkata: ”Ya Rasulallah! apakah kami berobat?” Beliau menjawab, “Ya, wahai hamba-hamba Allah. Sesungguhnya Allah meletakkan penyakit dan diletakkan pula penyembuhannya, kecuali satu penyakit. Mereka lantas bertanya “Penyakit apa ya Rasulallah? Beliau menjawab: “penyakit ketuaan (pikun)”.
(HR. At-Tirmidzi dari Usamah bin Syarik ra. Hadis Sahih)

Ada seseorang menghadap Nabi saw, ia berkata: “Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.” Nabi berkata: “Minumkan ia madu.” Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi berkata: “Minumkan ia madu.” Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga, Nabi tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: “Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).” Nabi bersabda: “Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.” Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.
(HR. Al-Bukhari dari Abu Said ra.)

Nabi saw. bersabda: “Panas demam itu berasal dari didihan api neraka jahanam, karena itu dinginkanlah panasnya dengan air”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra.)

Ketika Rasulullah saw. terkena luka yang bernanah dan luka parah selalu memerintahku untuk meletakkan pohoh pacar di atas luka tersebut.
(HR. Al-Tirmidzi dari Ali bin Ubaidillah dari Kakeknya. Hadis sahih)

Rasulullah saw. melarang berobat menggunakan sesuatu yang kotor/najis.
(HR. Abu Daud Turmudzi, Ahmad bin Hambal, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah ra. Hadis sahih)

Nabi melarang khamr, kemudian Suwaid bin Thariq bertanya: “Sekalipun khamr itu untuk berobat?” Kemudian Nabi menjawab: “Khamr itu bukanlah obat melainkan penyakit.”
(HR. Al-Tirmidzi dari Alqamah bin Wail dari ayahnya. Hadis sahih)

“Obat terdapat dalam tiga hal, yaitu pada ketentuannya tukang bekam, minuman madu, atau besi yang dipanaskan, akan tetapi aku melarang umatku berobat menggunakan besi yang dipanaskan”.
 (HR. Al-Bukhari dari Ibn Abbas ra.)

Bahwasanya Rasulullah saw. ketika menjenguk orang sakit atau ada orang sakit yang mendatangi beliau maka Nabi berdoa “Pergilah penyakit yang parah, Wahai Tuhan semua manusia, Sembuhkanlah sungguh Engkaulah Dzat Yang Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari-Mu yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit sedikitpun” (HR. Al-Bukhari dari Aisyah ra.)

Nabi saw. bersabda: “Janganlah salah satu diantara kalian mengharap kematian sebab penyakit yang menimpanya. Kalaupun sangat mendesak, maka berdoalah: “Ya Allah, hidupkanlah hamba jika hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah hamba jika kematian itu baik bagiku.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik ra.)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar